Jumat, 24 Agustus 2007

Menanam Bunga Perhatian

Oleh Gede Prama

Dalam sebuah kunjungan ke sebuah panti jompo yang serba kecukupan, Ibu
Teresa pernah memiliki pengalaman yang patut di simak. Kendati kehidupan
di panti jompo ini tergolong lebih dari cukup, semua orang tua yang
tinggal di sini, ketika duduk di ruangan untuk menonton tv, bukannya
memandang tv, hampir semua mata menatap pintu masuk.

Alasan kenapa mereka menatap pintu masuk, karena semuanya berharap akan
dikunjungi oleh anak, keluarga atau saudara yang bisa memberi mereka
perhatian.

Membaca pengalaman ini, saya teringat sedih ke Bapak saya yang tinggal
di kampung sana. Di umurnya yang sudah berkepala sembilan, setiap sore
setelah mandi, beliau selalu diminta dipapah dan disediakan kursi untuk
duduk di pintu masuk rumah. Untuk kemudian, menatap setiap orang yang
lewat di jalan satu persatu.

Tetangga saya sebelah rumah di Bintaro Jaya juga demikian. Hampir setiap
sore orang tua yang berjalan dibantu kursi roda ini, duduk di depan
rumahnya sambil memandangi jalan.

Tadinya, saya tidak tahu apa yang mereka fikirkan, tetapi ketika membaca
pengalaman Ibu Teresa di atas, ada semacam perasaan berdosa terhadap
Bapak saya di kampung, demikian juga dengan orang tua sebelah rumah.

Rupanya, mereka amat rindu perhatian.

Di umur-umur yang tidak lagi produktif ini, setangkai bunga perhatian
adalah

vitamin-vitamin kejiwaan yang amat dibutuhkan.

Yang jelas, siapapun Anda dan dimanapun Anda berada, tua muda, di kota
maupun di desa, semua memerlukan perhatian orang lain. Sayangnya, banyak
orang yang amat pelit untuk memberikan bunga perhatian buat orang lain.

Tidak sedikit orang, hanya meminta untuk diberikan bunga terakhir.

Padahal, bunga terakhir berharga tidak mahal. Bahkan, kita tidak
membelinya.

Dalam ruang lingkup yang lebih besar, alasan ekonomi biaya tinggi
sebagai tameng ketidakmampuan dalam menyejahterakan karyawan, jauhnya
jarak sosial antara atasan dengan bawahan, tingginya rasio antara gaji
orang di puncak dengan orang di bawah, teganya politisi membunuh orang
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, atau koruptor yang rela
mengkorupsi dana untuk rakyat miskin, adalah rangkaian bukti yang bisa
membawa saya pada kesimpulan, betapa langkanya orang dan pemimpin yang
kemana-mana membawa setangkai bunga perhatian.

Memang, ada orang yang memiliki teori, bahwa kalau kita lahir dari
masyarakat dan keluarga yang miskin perhatian, maka kitapun akan
terbentuk menjadi manusia yang miskin perhatian juga.

Inilah problemanya. Jika menunggu sampai masyarakat dan keluarga
berubah, atau organisasi berubah baru kemudian individunya berubah, maka
kapan bisa terbentuk barisan manusia lengkap dengan bunga perhatian yang
indah ?.

Ibu Teresa tepat sekali ketika menulis : "We must remember that love
begins at home, and we must also remember that the future of humanity
passes through The Family".

Ini berarti, bunga perhatian mesti mulai ditanam, dipupuk dan disemai di
rumah. Sebab, dari rumahlah bunga indah ini disebarkan. Kenapa mulai
dari rumah, sebab masa depan kemanusiaan berjalan melalui institusi
keluarga.

Bercermin dari sini, kadang saya dihinggapi perasaan berdosa. Sebab,
semenjak merangkap menjadi eksekutif, konsultan, pembicara publik dan
penulis, sering kali meninggalkan rumah pada hari Senen pagi dan pulang
Jumat malam. Kendati setiap hari saya menelepon ke rumah, merayu isteri
beberapa menit, bercanda dengan anak-anak, minta dibelikan oleh-oleh
apa, dan seterusnya, tetapi tetap ada sesuatu yang kurang.

Putera saya yang bungsu, sering kali meminta makan di pangkuan saya
tatkala saya juga makan. Wika puteri semata wayang saya, semangat sekali
setiap kali saya sampai di rumah. Adi, putera kedua saya, sering kali
merengek ke supir agar diajak ikut menjemput saya di bandar udara. Semua
itu, membuat perasaan berdosa dalam diri ini. Bagaimanakah saya akan
menanam bunga perhatian dalam keluarga yang amat saya cintai ini?
Kadang, saya berharap memiliki waktu empat puluh delapan jam sehari.
Sempat teringat petuah teman untuk meningkatkan kualitas bukan kuantitas
hubungan dengan anak. Atau mengkompensasinya dengan materi.

Akan tetapi, tetap tidak bisa memberikan kompensasi. Apapun bayarannya,
setiap anak mendambakan Papanya ikut bermain dengan mereka. Menaikkan
layang-layang yang ingin diterbangkan. Menendang bola yang gawangnya
mereka jaga. Menggambarkan kelinci dalam kertas yang anak-anak sediakan.

Menjemput puteri saya di sekolah yang sedang sombong-sombongnya
memamerkan Papanya serta mobilnya, mengantar Adi berenang, menaikkan
layang-layang, serta bermain game sepuasnya, atau mengajak Komang
berjalan-jalan dan menjawab semua keingintahuannya, atau menemani isteri
sehari penuh dan memenuhi keinginannya, adalah serangkaian mimpi yang
jarang bisa saya penuhi.

Serangkaian kegiatan, yang sebenarnya bisa membuat pohon bunga perhatian
tumbuh di mana-mana di rumah.

Sering kali saya dibuat iri oleh tetangga yang amat rajin menemani
anaknya naik sepeda berkeliling komplek. Ada juga yang setiap pagi
memandikan anjing kesayangan sang anak, menuntun anak sampai gerbang
sekolah, mengajari mereka naik sepeda. Lebih iri lagi, kalau di bandar
udara saya bertemu seorang suami yang menggandeng isterinya dengan penuh
kemesraan.

Semacam lahan subur untuk bunga perhatian, bukankah akan membahagiakan
sekali jika kita bekerja di sebuah organisasi yang diisi oleh
manusia-manusia yang saling memperhatikan?

--
Best Regard
Erwin Arianto,SE

Tidak ada komentar: