Tuesday, April 20, 2021

Salah sudah kaprah, benar tidak lumrah.

Sambil menunggu berisiknya anak-anak kampung yang membangunkan warga sahur, untuk ke sekian kalinya mencoba membuat paragraf-paragraf yang berisi celotehan-celotehan hati. Karena, sering sekali di depan rumahku anak-anak kampung itu membunyikan tetabuhan yang sangat keras. Tak, peduli dengan perasaan kami atau tuan rumah yang lainnya. Mungkin karena sudah tradisi. Jadi, mereka dan warga menganggap itu sudah biasa. Bagiku sangat mengganggu, berisik sekali.

Padahal untuk apa, toa di masjid pun menyerukan para warga untuk bangun sahur. Sebuah budaya yang mubazir. Tegasnya, salah sudah kaprah, benar tidak lumrah. Itulah yang terjadi di lingkungan tempatku kini tinggal, Desa Panongan. Mungkin, kalau aku menanyakan jawaban sudah bisa tertebak, dulu pun begitu.

Memang jamanku ada, namun hanya cukup menyuarakannya di toa Masjid, tak harus berkeliling ke rumah-rumah warga. Sungguh, makin ke sini budaya terbarukan makin menjadi-jadi. Namun, apa peduliku tentang itu semua, apakah ini urusanku? Tentunya, bukan. Jadi, aku tak terlalu peduli. Biarkan mereka bersenang-senang. Hingga waktunya tiba, semua akan berakhir.

Terlalu risih bagiku untuk mengurusi hal remeh-temeh seperti ini. Biarkan saja, itu yang saat ini terfikir. Lama kelamaan, tangan-tangan itu akan kelelahan dengan sendirinya saat memukul tetabuhan yang bising. Memang belumlah ada orang atau Anggota masyarakat yang mempermasalahkan hal ini. Jadi menurut aku, semua akan biasa saja pada akhirnya. Hanya satu bulan selama Romadhon. Ambil positifnya saja, ada yang meronda ke rumahku. Dan itu gratis.

Meski hanya sebulan dan gratis, serta berisik tak menyulut emosiku untuk menghentikan mereka. Tidak tahu nanti? Semoga saja tidak terlaksana, seperti otak psikopat yang ada dalam diriku. Saat ini. Karena, sepertinya aku senang membuat orang lain dalam kendaliku. Untunglah, ada rem yang selalu menghentikan hal itu. Nasehat guru dan orang tuaku. Terimakasih.

Eh, tapi kenapa? Saat aku mengetikkan perasaanku saat ini, anak-anak kampung itu tidak melewati jalan depan rumahku. Tetabuhan mereka terhenti di sebelah gang lain sebelum rumahku. Alhamdulillah, tidak terlalu berisik terdengar. Mungkinkah ada warga yang menegurnya? Semoga saja. Aku senang dan tak perlu repot-repot melakukan sesuatu seperti apa yang ada dalam fikiranku.

Terlalu lama berfikir penyebab lambat bertindak. Peluang yang ada akan hilang untuk meraihnya. Bertindak tanpa berfikir adalah kecerobohan. Bisa jadi kematian yang akan datang atau kesialan yang menimpa. Berfikir tanpa bertindak adalah lamunan. Memikirkan akibatnya sebelum bertindak adalah kebijaksanaan. Dalam hal ini aku hanya mengamati, apakah budaya tetabuhan akan terhenti meski masih situasi Romadhon?



No comments: